Minggu, 24 Desember 2017

Medsos Berpotensi Memecah Belah Bangsa

Perkembangan media sosial (medsos) yang sangat pesat dan meninggalkan pemahaman maupun etika penggunaannya, seperti kata presiden joko Widodo, bisa membuat indonesia menjadi negara barbar, liar atau biadab. Bagaimana tidak, lewat medsos seseorang dengan tanpa merasa salah melakukan berbagai tindakan keji berupa kabar kemarahan. Ujung-ujungnya, mereka, atau pengikut tokoh, atau kelompok yang menjadi sasaran lalu melakukan tindakan main hakim sendiri, melakukan intimidasi, persekusi, atau perburuan yang sudah memakan banyak korban.
Dampak Buruk Medsos, Medsos Pecah Belah Bangsa
Situasi juga menjadi panas dan timbul sikap saling curiga antarwarga, karena masyarakat mudah terpengaruh dan percaya saja apa isi informasi yang disebarkan. Kondisi ini tentu sangat meresahkan dan berpotensi memecah belah bangsa. Masyarakat menjadi terkotak-kotak sebab yang terekam di otak mereka adalah pihak yang berseberangan sebagai musuh harus dimusnahkan. Kurangnya upaya untuk tabayun, mengklarifi kasi, check & re-chek, membuat orang lalu saling curiga dan ini sangat merugikan semua pihak.

Saat ini, ketika ada orang atau kelompok yang tidak suka pada orang atau kelompok lain, mereka bisa melakukan kampanye dan menyerang lawan dengan memanfaatkan buzzer yang bisa dibayar. Buzzer demikian mudah ditemui dan dipilih kekuatannya berdasarkan jumlah follower-nya. Kasus yang baru-baru ini dialami PT Indosat Ooredoo adalah contoh paling aktual, ketika operator milik Ooredoo Qatar itu dilecehkan (bully) habis-habisan akibat unggahan salah satu manajernya di medsos. Ketika manajemen Indosat menegur karyawannya itu, sasaran serangan tidak hanya perusahaan dengan tagar (hashtag) #boikotindosat, tetapi juga petingginya.

Penelusuran bisa dilakukan untuk menemukan pembuat medsos #boikotindosat, bisa dengan maksud “menjinakkannya”, tetapi berbagai serangan makin masif terutama ketika diketahui karyawan si pembuat unggahan dijemput polisi. Serangan medsos yang terancang baik ini sempat menurunkan harga saham operator itu sampai lima belas persen tetapi kemudian rebound lagi. Perkembangan terakhir disebutkan, serangan tidakb lagi dalam bentuk medsos tapi melalui aplikasi messenger WhatsApp yang sangat sulit dilacak sumbernya. Isinya tetap berupa hujatan terhadap manajemen dan perusahaan. Kekacauan semacam ini akan makin bergemuruh setiap menjelang proses pemilu, terutama pilkada dan nanti terlebih pada pilpres tahun 2019. Hal ini diakibatkan tajamnya persaingan antarcalon yang memanfatkan medsos tanpa etika. Contohnya dalam pilkada DKI yang sarat dengan fitnah, hoax, isu SARA. Di satu sisi membuat ujaran-ujaran negatif yang terkoordinir justru berkembang menjadi satu bisnis karena bisa menghasilkan uang dalam jumlah besar. Profesi baru, buzzer, menjadi profesi bernilai jutaan rupiah yang mudah dikerjakan tanpa harus keluar rumah. Pekerjaan “tanpa hati” ini, termasuk yang mereka yang menyuruh, mendukung, membantu, atau memfasilitasinya, oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) disebut sebagai profesi haram.

“Makan Daging” Saudara
Sampai zaman Barack Obama, jika presiden ingin menyampaikan sesuatu kepada masyarakat luas, dibentuklah satu forum. Ini dilakukan lewat media televisi atau radio untuk jangkauan dan konsumsi umum, bisa juga lewat tatap muka dengan kalangan terbatas. Lain lagi dengan Presiden Donald Trump. Ia lebih suka memanfaatkan Twitter dan publik pun segera bisa tahu suasana hati Trump lewat kicauannya. Misalnya, bagaimana Trump mengicaukan keriangannya usai keliling Timur Tengah yang –bisa jadi tidak ada hubungannya– menyebabkan Arab Saudi dan beberapa negara Arab lain memutus hubungan diplomatiknya dengan Qatar. Atau ketika Trump mengungkapkan kekesalannya kepada media lokal yang dianggapnya berat sebelah.

Presiden Joko Widodo –juga putranya, Kaesang– kerap menggunakan media sosial walau tidak seperti Trump. Jokowi lebih suka membuat video blog atau vlog. Contohnya ketika kedatangan tamu Raja Arab Salman bin Faisal Al Saud beberapa waktu lalu, orang melihat betapa sang Raja memperlakukan Jokowi seperti anaknya sendiri, atau Presiden yang selalu menggandeng tangan Raja, memayunginya, dan mewawancarainya. Lewat vlog yang dibuatnya, Jokowi meminta komentar Raja Salman yang mau saja menjawab apa pertanyaan Jokowi. Entah itu atau sebab lain, Raja Salman pun memperpanjang masa tinggalnya di Indonesia, bertamasya di Bali dengan seluruh rombongannya.

Medsos menampikan dua sisi yang sangat berbeda seperti pisau bermata dua. Ia bisa digunakan dengan santun tanpa maksud merugikan seperti yang dilakukan kedua presiden tadi. Sisi lain memang yang dilakukan dengan tujuan mengobarkan kebencian, mendorong kekerasan seperti yang kini terjadi di Tanah Air. Itu bisa terjadi karena kurangnya upaya edukasi terutama dari pemerintah sebagai pemilik kebijakan. Sangat terasa bahwa pemerintah hanya mengimbau dan berharap masyarakat lebih santun dalam memanfaatkan medsos. Walau untuk yang terakhir ini kepolisian sudah ditugasi meredam dengan menindak tegas perlakuan persekusi yang menggelisahkan.

Di Bulan Ramadhan lalu, akhirnya MUI didampingi Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI Rudiantara mengeluarkan fatwa. Di dalam hukum Islam, ada aturan-aturan yang wajib dan patut dipatuhi, mulai dari Al Quran sebagai pedoman utama, kemudian hadis yang merupakan contoh, tindakan, kata-kata atau sunnah Nabi Muhammad SAW, dan rangkaian yangb terakhir berupa fatwa ulama. Fatwa ulama yang seharusnya ditaati umat, memberi gambaran kepada masyarakat terutama umat Islam bahwa tindakan-tindakan negatif di media sosial itu sebagai perbuatan haram. MUI mengharamkan setiap umat Islam yang memproduksi, menyebarkan, dan membuat konten tidak benar kemudian dapat diakses masyarakat. Termasuk haram menurut MUI jika umat juga mengumbar aib, gosip, atau kejelekan orang atau kelompok lain, kecuali konten yang disebarkan untuk kepentingan yang telah dibenarkan secara syar’i. Dalam pemahaman dan ajaran Nabi Muhammad SAW, mengghibah (membicarakan orang lain) sama dengan “makan daging” saudaranya.

Namun fatwa ini kurang terasa gaungnya karena masyarakat menganggap fatwa ulama hanya sebagai imbauan, boleh dijalankan, seperti kasus penistaan agama yang melibatkan salah satu pejabat di negeri ini. Atau boleh diabaikan, dan ini yang terjadi, terlihat dari masih berseliwerannya ujaran- ujaran haram tadi di dunia maya.  

0 komentar :

Posting Komentar