Pembuat MP3 memang
mengumumkan berakhirnya lisensi format revolusioner ini. Banyak yang
menganggap pengumuman ini berarti “matinya” format MP3. Padahal,
kenyataannya tidak begitu. Format MP3 (MPEG-1 audio layer 3) bisa
dibilang format file suara revolusioner yang mengubah dunia. Meski
ide memampatkan suara pernah dicemooh, sejak 1991 MP3 menjadi format
standar di seluruh dunia.
Adalah Prof.
Dieter Seitzer dari Universitas Erlangen-Nuremberg di Jerman yang
berjasa mengembangkan format MP3. Bersama sang murid, Karlheinz
Brandenburg, Seitzer mengembangkan MP3 dengan menggunakan
prinsip-prinsip psikoakustik (ilmu yang mempelajari tentang persepsi
manusia terhadap suara). Dalam psikoakustik, diyakini tidak semua
frekuensi suara dalam setiap lagu dapat didengar manusia, khususnya
oleh rata-rata orang dewasa. Dengan pemahaman tersebut, Seitzer pun
mengembangkan MP3. Caranya dengan menghilangkan frekuensi yang tidak
relevan oleh telinga manusia tanpa menghilangkan informasi atau mutu
sebuah data suara (dikenal dengan metode lossy compression). Hal ini
membuat sebuah lagu berformat MP3 hanya berukuran 3-4 MB, jauh lebih
kecil dibanding format WAV yang bisa mencapai 10 MB.
Kelebihan ini pun
berefek besar. Salah satunya adalah lagu berformat MP3 lebih mudah
disebar via internet, yang banyak dianggap sebagai biang keladi
maraknya pembajakan lagu. Dalam waktu singkat, MP3 pun langsung
menjadi format audio populer. Karena itulah banyak yang terkejut
ketika pertengahan Mei 2017 lalu, Fraunhofer Institute dan
Technicolor sebagai pemegang paten MP3 mengumumkan secara resmi
berakhirnya lisensi MP3. Banyak yang menyebut pengumuman ini menjadi
penanda berakhirnya era MP3. Padahal, kenyataannya tidak begitu.
Sebagai pembuat dan pemegang lisensi MP3, Fraunhofer Institute dan
Technicolor selama ini mendapatkan royalti dari setiap hardware
maupun software yang menggunakan format MP3. Melalui pengumuman ini,
mereka pada dasarnya tidak lagi meminta royalti dari penggunaan MP3
oleh pihak lain. Dengan kata lain, kini format MP3 bebas digunakan
siapa saja.
Format Pengganti
Meski telah
menjadi format audio populer, era MP3 memang sudah saatnya berakhir.
Hal ini tidak lepas dari bermunculannya format audio baru yang lebih
baik dibanding MP3. Contoh yang paling populer adalah format AAC yang
digunakan di layanan music streaming dan didukung hampir semua
perangkat masa kini seperti smartphone berbasis iPhone dan Android,
PlayStation, sampai perangkat audio mobil. Keunggulan AAC bisa
dilihat dari sisi ukuran fi le yang lebih kecil dibanding MP3.
Contohnya pada bitrate 192 kbps, ukuran file MP3 adalah 8,48 MB,
sedangkan AAC hanya 6,67 MB. Meski begitu, kualitas suara AAC lebih
baik dibanding MP3. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan Dolby
Laboratories bersama audiophile menyimpulkan, kualitas suara AAC
dengan bitrate 128kbps menghasilkan kualitas suara jauh lebih baik
dibanding MP3 pada bitrate yang sama.
Meski begitu,
bukan berarti AAC tidak memiliki kekurangan. Meski didukung berbagai
hardware, tetap saja belum bisa mengalahkan kepopuleran format MP3.
Selain itu, AAC adalah format yang patennya dikelola VIA Licensing.
Pembuat hardware dan software yang menggunakan format ini harus
membayar royalti kepada VIA Licensing. Dengan kata lain, MP3
sebenarnya tidaklah “mati”. Yang terjadi justru sebaliknya: MP3
kini menjadi format yang terbuka dan bisa digunakan siapa saja.
0 komentar :
Posting Komentar