Pagi hari sekira jam 8, pria setengah baya itu sudah nampak rapi, mengenakan setelan safari berwarna biru dongker dan peci hitam. Mobil kijang yang sejak tadi sudah dinyalakan siap membawa lelaki murah senyum itu menuju Dermaga Wijayapura, tempat penyeberangan menuju Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Untuk bisa menyeberang ke pulau itu ada dua cara, bisa dengan kapal Ferry milik Kementerian Kehakiman atau compreng (sejenis kapal kecil milik masyarakat).
Tidak sedikit orang yang ingin menyeberang ke pulau tersebut. Menurut pria yang bernama lengkap Hasan A. Makarim, selain petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang juga akan menyeberang adalah para keluarga yang ingin menjenguk anggota keluarganya di dalam Lapas. Hari itu, yang juga hadir di dermaga adalah istri-istri para terpidana teroris, bersama anak-anak mereka.
Ustadz Hasan, demikian ia biasa disapa, sangat familiar dengan beberapa keluarga terpidana, termasuk dengan istri-istri dan anak-anak terpidana terorisme. Bahkan, dengan petugas yang menjaga di perbatasan itu, Ustadz Hassan sudah terlihat tidak canggung bertegur sapa. Maklum saja, pria kelahiran Bogor, 51 tahun silam ini, sejak tahun 1991 sudah bolak-balik dakwah di Lapas Nusakambangan. Di Nusakambangan terdapat 6 Lapas, yaitu Lapas Batu, Lapas Terbuka, Lapas Besi, Lapas Kembang Kuning, Lapas Narkoba, dan Lapas Permisan.
Mendampingi seseorang yang hendak menjemput ajalnya, bukan perkara mudah. Terlebih terpidana mati itu akan meninggalkan dunia dengan menghadapi eksekusi dengan cara ditembak. Setidaknya, itulah yang selalu dilakukan Ustad KH Hasan Makarim, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cilacap selama beberapa hari terakhir ini. Berbagai perlengkapan dipersiapkan Ustad yang juga merupakan koordinator Pondok Pesantren di seluruh lapas se Nusakambangan dan Cilacap. Tak hanya persiapan mental dan siraman rohani agar siap menghadapi eksekusi, Hasan juga selalu menyiapkan pakaian berwarna putih dan wewangian. Bukan tanpa sebab, pakaian putih dan wewangian dimaksudkan agar terpidana saat menemui ajalnya, dalam kondisi suci dan bersih.
“Tak ada tujuan lain, agar mereka suci dan bersih saat menghadap Allah,” tegasnya.
Hasan yang telah berpengalaman pernah mendampingi Amrozi cs, Jurit dkk, dan terpidana mati lain yang telah dieksekusi di Nusakambangan, selalu dipercaya pihak Kejaksaan untuk mendampingi pertaubatan para terpidana mati yang beragama muslim. Seperti saat mendampingi Rani Andiani alias Melissa Aprilia dan Namaona Denis, ia juga membawakan pakaian putih, yang sudah sesuai dengan ijin dari Kejaksaan.
“Seperti saat eksekusi 2013 lalu, saya siapkan baju putih-putih untuk dipakai terpidana yang beragama Islam,” terangnya.
Pendampingan selama tiga hari jelang eksekusi, dilakukan secara penuh oleh Hasan Makarim. Yang tak ketinggalan, yaitu mengajak para terpidana mati untuk melaksanakan salat taubat serta menggunakan wewangian.
Dalam memberikan bimbingan rohani bagi para terpidana mati yang beragama Islam, Hasan mengatakan bahwa pihaknya mengajak mereka untuk berpikir positif hingga terjadi tanya jawab diantara terpidana dan Hasan Makarim. Tentu saja, proses ini harus dilewati dengan pelan. Sang terpidana mati, tentu saja memiliki ketakutan yang luar biasa. Namun, dari ketakutan itu, ia berusaha menjadikan rasa itu rasa keikhlasan semata dan takut karena sang pencipta.
Dari situ pula, Hasan selalu menyelami pikiran mereka yang menjadi terpidana. Sesungguhnya, kata dia, pintu taubat benar-benar terbuka bagi orang yang benar-benar yakin dan mau meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Agama.
“Saat itulah, saya baru memasukkan materi-materi keagamaan,” ujarnya.
Diceritakan, pengalaman besarnya itu terbukti mampu membuat sebagian besar terpidana mati dapat berfikir positif dan menerima dengan ikhlas apa yang dihadapinya.
“Itulah yang menjadi tujuan pendampingan. Mereka bisa mengikhlaskan, bertaubat dan siap menghadap Yang Kuasa,” imbuhnya.
0 komentar :
Posting Komentar