Ada tiga bentuk malapetaka yang pernah dan sedang menimpa dunia Arab: perang saudara, serbuan pasukan luar, dan gabungan antara keduanya. Kita lihat dulu Perang Onta dan Perang Shiffin.
Perang saudara era awal bisa dicatat sebagai Perang Onta antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan 'Aisyah dengan kekalahan di pihak 'Aisyah. Ironisnya, yang terlibat dalam perang ini adalah orang yang sangat dekat dengan Nabi SAW. 'Aisyah adalah janda Nabi SAW, sedangkan Ali adalah sepupu dan menantunya, suami Fatimah Zahra, putri Nabi SAW dengan Khadijah binti Khuwailid.
Perang Onta ini adalah fitnah (malapetaka) pertama yang mengguncangkan komunitas Muslim yang baru sekitar 24 tahun sepeninggal Nabi SAW. Kita tak perlu terjebak dalam teori yang ruwet tentang penyebab meledaknya peperangan ini karena jelas berkaitan dengan masalah politik kekuasaan.
Ketidaksenangan 'Aisyah terhadap Ali adalah di antara faktor utama mengapa dia berpihak kepada Thalhah bin Ubaidillah al-Taimi dan Abdullah bin Zubair al-Awwan yang menjadi pesaing Ali untuk posisi kekhalifahan. Ali naik takhta pada 656, tahun terbunuhnya Usman bin 'Affan sebagai khalifah ketiga dalam urutan al-khulafa' al-rasyidun. 'Aisyah dan Ali adalah kader Nabi SAW yang mengerti agama dengan mendalam.
Ternyata, dimensi manusiawi dari dua tokoh ini telah mengalahkan pertimbangan agama saat digumulkan dengan masalah politik kekuasaan. Tetapi Perang Onta belum memunculkan sekte-sekte dalam komunitas Muslim Arab, seperti yang kemudian berlaku akibat Perang Shiffin, setahun sesudah Perang Onta.
Jika Perang Onta dengan skala yang masih terbatas, Perang Shiffin (657) antara Ali dan gubernur Suriah Mu'awiyah bin Abi Sofyan yang berlangsung selama tiga bulan, skalanya sudah menjadi luas dan sangat berakibat jauh, menembus bilangan sampai hari ini. Ali dari pihak Bani Hasyim kini berhadapan dengan Mu'awiyah yang licik dan cerdik dari Bani Umayyah, dua bani dalam lingkungan suku Quraisy yang masih bersaudara.
Nenek moyangnya bertemu pada nama Qushai bin Kilab, penguasa Makkah pada abad ke-5 masehi. Dalam perjalanan sejarah politik kekuasaan, jangankan perang antara dua puak, konflik berdarah antara dua saudara kandung bukanlah perkara yang mustahil, seperti yang pernah berlaku dalam dinasti Mughal di India. Aurangzeb, misalnya, tega memenjarakan ayahnya sendiri Shah Jehan, demi kekuasaan. Sultan Iskandar di Aceh kabarnya sampai hati membunuh anak laki-lakinya sendiri untuk memuluskan peluang bagi putrinya menjadi sultanah.
Pendek kata, dalam kenyataan sejarah, nafsu kekuasaan tanpa didampingi kekuatan moral yang tangguh pasti merusak. Agama sering benar tidak berdaya. Oleh sebab itu, tuan dan puan harus siap membaca sejarah politik umat Islam menurut apa adanya. Jangan dibumbui seolah-olah kelakuan para penguasa Muslim itu pasti mengacu kepada wahyu yang memerintahkan agar orang selalu bertindak adil, nafsu jangan sekali diperturutkan.
Perang saudara yang lebih dahsyat berlalu pada saat pasukan 'Abbasiyah yang bergerak dari Khurasan (Iran) dengan bendera hitam menggulung habis daulah Umayyah (661-749). Sisa yang berhasil menyelamatkan diri lari ke Sepanyol serta berjaya mendirikan kerajaan di sana yang bertahan selama berabad-abad dengan peradaban duniawi yang megah. Karena letaknya yang jauh di belahan Eropa, pihak 'Abbasiyah tidak mampu mengejarnya. Maka berkibarlah dua imperium Muslim Arab, satu di timur dan satu di barat dengan karya peradaban duniawi yang spektakuler.
Mengapa saya bersikap kritikal terhadap apa yang disebut dengan penuh haru oleh sebagian kita tentang "the golden ages of Islam?" Jawabannya tidak sulit karena peradaban yang semisal itu dapat saja diciptakan manusia tanpa bantuan wahyu. Padahal, yang hendak kita bangun adalah sebuah peradaban yang mampu mengawinkan kekuatan zikir dan pikir, kekuatan langit dan bumi, sehingga fenomena modernitas Barat yang sedang kehilangan jangkar spiritual tidak ditiru dan diwarisi.
Bagi saya apa yang berlaku pada masa "kejayaan" peradaban Islam itu tidak jauh berbeda dengan peradaban sekuler Barat sejak 400 tahun yang lalu. Dimensi duniawinya mengalahkan sisi kerohanian manusia. Akibatnya, sebuah keseimbangan peradaban umat manusia tidak pernah terwujud. Wahyu diturunkan adalah untuk menjaga dan menciptakan keseimbangan itu.
Tidak diragukan lagi, dua imperium Muslim yang bersaingan itu telah menoreh sejarah peradaban yang sangat tinggi, jika parameter yang digunakan adalah dimensi duniawi, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun, sekali digumulkan dengan perintah Alquran tetang konsep persaudaraan manusia beriman dalam politik kekuasaan, maka Anda akan sia-sia saja menemukannya.
Politik kekuasaanlah sebagai penyebab utama mengapa dunia Islam, khususnya dunia Arab, berkali-kali mengalami pukulan sejarah yang menghancurkan, tapi mereka tidak juga siuman. Tidak banyak berbeda dengan peradaban-peradaban lain yang pernah dikenal manusia, peradaban Arab Muslim juga dibangun di atas tengkorak saudaranya sendiri. Kita tidak boleh melupakan fakta hitam ini.
Sekarang kita melompat ke era Perang Salib atau al-hurub al-shalibiyah (1096-1517) dan penyerbuan pasukan barbar Mongol ke Baghdad pada 1258. Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad itu adalah perang antara Eropa Kristen dan dunia Arab Muslim.
Pada Perang Salib ke-3 dalam pertempuran dahsyat di Hattin pada 1187, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dari suku Kurdi berhasil mengalahkan pasukan Salib dengan merebut kembali Yerusalem dari tangan Kristen yang dirampasnya pada 1099, setelah jenderal legendaris ini berhasil mempersatukan Mesir dan Suriah. Dalam rahim Perang Salib inilah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol pimpinan Hulagu yang ganas dan biadab itu. Bisa dibayangkan energi tempur dunia Arab Muslim sedang disita oleh Perang Salib, datang pula pasukan Mongol yang kemudian membenamkan imperium 'Abbasiyah yang renta untuk selama-lamanya.
Apakah Arab Muslim pandai dan mau belajar dari malapetaka sejarah ini? Jawabannya sampai hari ini nyaris negatif. Dalam hal itu, suku Kurdi yang melahirkan Shalahuddin tidak pula bisa menyatu dengan komunitas Arab ataupun Turki. Pertanyaan saya adalah di mana Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk menguburkan "berhala" suku masing-masing dan membangun persaudaraan umat beriman di atas landasan tauhid yang sejati?
Komunitas Arab dan Turki pada saat yang sama juga memandang suku Kurdi sebagai tidak setara. Lagi-lagi, mengapa mentalitas kesukuan ini tetap saja dipelihara dengan mengorbankan perintah Alquran yang terang benderang? Masihkah kita beragama saat berurusan dengan kekuasaan? Dengan fakta ini, semangat kesukuan yang dulu oleh Nabi telah dilebur menjadi semangat persaudaraan yang luhur, kemudian mengapa warisan Nabi itu telah dibuang jauh ke dalam limbo sejarah? Atau dikubur ke bawah abu pergantian musim yang sering membawa malapetaka?
Saya khawatir bahwa yang sering berlaku dalam sejarah Muslim adalah ujung ayat 72 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya ia [si Muslim itu] zalim dan bahlul." Sulit sekali belajar dari kelampauan sejarahnya. Jika memang itu yang berlaku, sesungguhnya lebih baik wahyu itu dicampakkan sama sekali. Untuk apa berpura-pura percaya kepada wahyu sementara kelakuan politik kita mengkhianati nilai-nilai luhur itu semua?
Dalam bacaan saya yang terbatas, tanpa adanya kesediaan umat Islam untuk keluar dari kotak-kotak Arab yang telah menguasai pemikiran Muslim sejagat selama berabad-abad, maka apa yang sering dikatakan sebagai kebangkitan Islam hanya akan berujung dengan sebuah ilusi sejarah yang meninabobokkan. Oleh sebab itu, perlu dibangun sebuah Islam yang relatif bebas dari beban sejarah yang sangat melelahkan.
Malapetaka demi malapetaka yang telah dan sedang menimpa peradaban Arab Muslim semestinya menginsafkan kita semua untuk berpikir sangat kritikal dalam menilai warisan Islam yang bercorak serba-Arab yang masih saja menjadi kiblat sebagian kita.
Dengan menyebut Arab, tidak berarti Islam dalam jubah Iran akan lebih baik untuk ditiru. Perilaku politik Iran yang eksklusif bukanlah sebuah obat penyembuh dari penyakit parah yang sedang menggeluti dunia Islam. Perebutan hegemoni antara Saudi dan Iran adalah warisan gelap sejarah masa silam mereka.
Akhirnya, penghancuran Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan Yaman oleh pasukan gabungan, baik antara Arab maupun Barat, atau antara Arab sesama Arab dalam kasus Yaman, adalah simbol nyata dari suasana mental Arab yang kacau dan kehilangan perspektif masa depan. Amat memprihatinkan kita semua karena mereka adalah saudara seagama kita yang semestinya punya keawasan sejarah yang tajam.
0 komentar :
Posting Komentar