Apapun alasannya, keputusan pemerintah Turki menjadikan Hagia Sophia (dalam bahasa Turki disebut Aya Sofya) di kota Istanbul sebagai masjid adalah sebuah kesalahan besar. Mengapa demikian? Sebelumnya, silakan simak dulu sejarah ringkas Hagia Sophia berikut ini.
Dibangun pada 537, awalnya Hagia Sophia merupakan katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, meskipun selama 57 tahun (1204 hingga 1261) tempat ini sempat diubah oleh Pasukan Salib Keempat menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel.
Pada 29 Mei 1553, Sultan Mehmed II atau Muhammad Al-Fatih, pemimpin Kesultanan Utsmaniyah (orang Barat menyebut Kekaisaran Ottoman) saat itu, mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi masjid, setelah ia berhasil menaklukkan Konstantinopel. Kekaisaran Ottoman adalah kekaisaran lintas benua yang didirikan pertama kali oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey di barat laut Anatolia pada tahun 1299. Setelah ditaklukkan, Konstantinopel kemudian menjadi ibukota kekaisaran yang megah, dan diubah namanya menjadi Istanbul.
Kekaisaran Utsmaniyah runtuh pada 1 November 1922, kemudian berubah menjadi negara Republik Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasya (dikenal sebagai Kemal Attaturk) pada 29 Oktober 1923. Di bawah kekuasaan Attaturk inilah Hagia Sophia disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935, dan menjadikan Hagia Sophia sebagai milik bersama antara peradaban Barat dan Timur – sebuah keputusan bijak yang diapresiasi dunia. Selama menjadi museum, berbagai kalangan mempelajari peradaban bangsa-bangsa kuno dari Hagia Sophia. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan Hagia Sophia sebagai situs budaya warisan dunia. Para arsitek juga menyebutnya sebagai keajaiban dunia ke-8.
Namun, setelah 85 tahun sebagai museum, tiba-tiba Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Jum’at 10 Juli 2020 lalu mengumumkan bahwa Hagia Sophia dialihfungsikan kembali menjadi masjid. Pengadilan Turki membatalkan status museum yang disandang situs itu, dan menyatakan bahwa penggunaannya selain untuk masjid "tidak dimungkinkan secara hukum."
Dunia terkejut dan banyak kalangan menyesalkan keputusan pemerintah Turki tersebut. Pemimpin tertinggi Katolik Roma Paus mengaku sedih atas keputusan ini. Selain Paus, Dewan Gereja Sedunia meminta Erdogan untuk membatalkan keputusan tentang penetapan Hagia Sophia sebagai masjid. Gereja-gereja di Yunani dan Rusia pun menentang keputusan pemerintah Turki itu. Bahkan UNESCO menyebut Komite Warisan Budaya dari pihaknya akan melakukan peninjauan kembali akan status Hagia Sophia sebagai situs budaya warisan dunia.
Setelah mengetahui sejarah ringkas Hagia Sophia di atas, sekarang silakan simak catatan kritis saya berikut ini.
Pertama, merampas properti ibadah umat lain, meskipun dalam konteks perang sekalipun, sama sekali tidak dibenarkan. Jangankan merampas, mengusik orang yang berada di dalam rumah ibadah saja kita dilarang. Sebelum berangkat berperang, Nabi Muhammad selalu memberikan wejangan kepada pasukannya: “Janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak, manula, dan orang-orang yang mengungsi di rumah-rumah ibadah mereka. Jangan pula kalian menebangi pepohonan, membunuh hewan ternak, dan merusak bangunan.”
Sementara itu, Al-Quran surat Al-Hajj ayat 40 berbunyi:
“...Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagog-sinagog Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”
Dalam ayat ini Allah menolak perusakan tempat-tempat ibadah – dan jelas disebutkan jenis-jenis tempat ibadah yang dimaksud. Dengan kata lain, tempat-tempat ibadah tersebut harus tetap dijaga keberadaan fisiknya sekaligus dipertahankan peruntukannya sesuai dengan fungsi awalnya.
Kedua, Hagia Sophia bukanlah gereja biasa, melainkan rumah ibadah megah dan bersejarah yang merupakan simbol kebesaran dan kehormatan agama Katolik di Timur, sebagaimana Basilika Santo Petrus di Vatican. Mengambil alih dan mengubah fungsi bangunan tersebut menjadi masjid tentu saja melukai hati umat Katolik, dan perbuatan itu bertentangan dengan akhlak yang dicontohkan Nabi Muhammad. Sejarah Islam mencatat beberapa riwayat betapa Nabi Muhammad sangat menjaga kehormatan individu maupun golongan lain, meskipun setelah mereka mengalami kekalahan atau menyerah dalam peperangan.
Nah, apa yang dilakukan Sultan Mehmed II dahulu kala itu sebenarnya bertentangan dengan Al-Quran dan tuntunan Nabi Muhammad. Jika Sultan Mehmed II benar-benar mengikuti petunjuk Al-Quran dan meneladani akhlak Nabi Muhammad, maka seharusnya ia menyerahkan kembali kepengurusan Hagia Sophia kepada umat Katolik setempat, bukan mengambil alih kepemilikannya dan mengubah fungsinya menjadi masjid.
Adapun kebijakan Mustafa Kemal Attaturk yang membatalkan keputusan Sultan Mehmed II dan mengubah Hagia Sophia menjadi museum terbuka untuk umum, tampaknya cukup berani meskipun belum sampai pada kebenaran yang semestinya. Meski demikian, keputusan itu agaknya lebih bersifat politis, mengingat Turki yang baru mengganti sistem pemerintahannya dari Kusultanan Islam menjadi Republik yang sekuler, ingin menarik simpati negara-negara Barat. Memang harus dimaklumi, jika Attaturk waktu itu langsung membalikkan fungsi Hagia Sophia menjadi gereja lagi dan menyerahkan kepengurusannya kepada umat Katolik, maka Republik Turki yang baru berdiri itu terancam bubar karena diamuk rakyatnya yang mayoritas Muslim. Maka, mengubah fungsi Hagia Sophia sebagai museum bagi Attaturk saat itu adalah pilihan yang dianggap paling bijak dan adil.
Sayangnya, 85 tahun setelah putusan Kemal Attaturk terhadap Hagia Sophia, Presiden Erdogan melakukan kesalahan yang sama dengan Sultan Mehmet II, meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Sangat mungkin keputusan Presiden Erdogan itu dilatarbelakangi oleh ambisi politik. Sejak awal pemerintahannya sepuluh tahun lalu Erdogan selalu menolak desakan kaum konservatif untuk mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Tetapi anehnya, menjelang akhir periode kepresidenannya ia tiba-tiba berubah sikap dengan mengambil keputusan kontroversial tentang Hagia Sophia.
Motif tindakan Erdogan mendukung perubahan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid itu dilatarbelakangi kepentingan politis untuk memenangi pilpres pada 2023. Bagi Erdogan, mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid merupakan kebijakan yang ampuh untuk terus mendapat dukungan dari kaum konservatif Turki pada pemilu mendatang. Faktanya, opini umum Turki yang didominasi kubu konservatif mendukung tindakan Pemerintah Turki mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.
Alhasil, nasib Hagia Sophia sungguh menyedihkan. Baik Sultan Mehmed II, Mustafa Kemal Attaturk, maupun Recep Tayyip Erdogan, telah melakukan tindakan zalim atas bangunan monumental hasil peradaban manusia itu. Ketiganya mengesampingkan akhlak Islami dan mengabaikan tuntunan agamanya menyangkut hak-hak umat non-Muslim. Menurut saya, putusan yang paling benar sesuai dengan tuntunan agama, etika sosial, maupun hukum internasional adalah: kembalikan Hagia Sophia kepada yang berhak mengelolanya, yaitu umat Katolik. Biarkan umat Katolik mengurus bangunan religius itu dan memutuskan peruntukannya, tentunya berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku di Turki. Dalam hal ini, Pemerintah Republik Turki wajib memberikan dukungan dan perlindungan. Itulah jalan yang paling bijak dan benar.
0 komentar :
Posting Komentar