Pada tanggal 18 januari 2015 lalu, 6 terpidana mati kasus narkoba dieksekusi regu tembak di Pulau Nusakambangan. Lima terpidana mati tersebut antara lain, Ang Kim Soei (62) warga Negara Belanda, Namaona Denis (48) Warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Moreira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia. Serta satu napi dieksekusi di Boyolali bernama Tran Thi Bich Hanh (37) warga negara Vietnam. Enam terpidana mati narkoba telah dieksekusi beberapa pekan yang lalu, namun hal ini masih menyisakan debat panjang bagi yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Bagaimana tidak, hukuman mati adalah hukuman terberat yang diterima bagi terpidana extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa). Namun, jika dilihat dari sisi kemanusiaan, hukuman mati merupakan suatu hal yang kejam dan tidak manusiawi, apapun kejahatan yang dilakukan terpidana. Saya pribadi pun ngeri membayangkan kondisi psikologis terpidana mati menjelang detik-detik penantian eksekusi.
Akan tetapi, tak bisa tidak, eksekusi-eksekusi itu menimbulkan pertanyaan prinsip, pertanyaan tentang kebenaran moral hukuman mati. Pertanyaan itu tidak kita jawab dengan mengintip pada pandangan negara lain, tetapi atas azas kesadaran kita sendiri. Entah apa pandangan negara lain, harga diri kita sendiri menuntut agar kita membersihkan sistem hukum kita dari segala unsur yang tidak etis, tidak manusiawi, tidak benar.
Berikut saya ajukan secara singkat empat alasan mengapa para aktivis ingin hukuman mati harus kita hapus.
- Pertama, sistem yudisial negara kita belum bersih dari praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga- lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya!
- Kedua adalah prinsipiil: hukuman mati satu-satunya hukuman yang tidak dapat dicabut sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan kekeliruan selalu ada. Sistem terbaik pun tidak dapat 100 persen menjamin bahwa suatu putusan pengadilan tidak keliru.
- Ketiga, menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh orang, kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi adalah tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan diri kita ke dalam eksistensi dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi itu. Maka, menghukum penjahat dengan mencabut nyawanya sebenarnya merupakan hujatan terhadap Yang Memberi Hidup. Tak kurang!
Mungkin orang bilang: "bukankah hukuman mati belum begitu lama dilaksanakan di semua negara dan masyarakat di dunia dan dibenarkan oleh semua agama? Kok mendadak dianggap tidak dapat dibenarkan?"
Argumen tersebut kurang kuat. Bahwa sebuah perbuatan (hukuman mati) disetujui luas tidak berarti perbuatan itu tidak bisa jahat. Sama tidak benarnya seperti semboyan "vox populi vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)". Suara rakyat jelas bukan suara Tuhan, suara rakyat bisa juga jahat. Tak ada suara manusiapun baik seseorang, sekelompok orang, maupun semua orang yang sama dengan suara Tuhan. Bukankah kita tahu, rakyat bisa keliru, hati rakyat bisa penuh dendam, iri, benci dan lain-lain.
Bahwa begitu lama hukuman mati tidak dipersoalkan bukanlah bukti hukuman mati dapat dibenarkan, melainkan kelonggaran sementara karena kekasaran hati manusia. Karena naluri membalas dendam, manusia butuh waktu untuk menyadari bahwa ia tidak boleh membunuh. Namun, lama-kelamaan manusia jadi lebih mengerti, lebih bertanggung jawab, maka ia mulai memahami bahwa hukuman mati melampaui wewenang moralnya.
Pernah ada hukum "mata demi mata, gigi demi gigi" (lex talionis, di Kitab Taurat). Namun, pada waktu itu, 3.000 tahun lalu, lex talionis merupakan langkah maju dalam proses dekasarisasi hati manusia. Waktu itu, kalau orang memukul orang lain sehingga gigi atau mata hilang, ia akan dibunuh. Lex talionis lantas membatasi: Kalau matamu ditusuk, kau tak boleh membunuh, kau hanya boleh tusuk mata dia. Namun, sekarang kita sudah maju. Kalau sekarang mata seseorang yang menusuk ditusuk kembali, itu barbar.
Jadi, ada kemajuan dalam perjalanan umat manusia ke luar dari kekasaran. Dan sangat tepatlah sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukuman mati belum beradab.
Jika dalam agama-agama dahulu kala, hukuman mati tidak ditolak, tetapi ditetapkan sebagai hukuman atas perbuatan jahat tertentu, itu pun perlu dimengerti dalam rangka mereduksi kekasaran hati manusia. Daripada pelanggaran apa pun dibalas dengan membunuh pelanggar, hukuman mati yang belum bisa dihapus sama sekali karena manusia masih terlalu kasar, maka dibatasi pada perbuatan kriminal paling jahat saja. Akan tetapi, yang sebenarnya dimaksud: pada akhirnya manusia jadi sadar bahwa hukuman mati tidak pantas dan tidak dikehendaki Tuhan.
Bisa juga dikatakan: Tuhan sabar dengan kekasaran hati kita, tetapi tidak untuk selamanya.
Alasan lainnya adalah, menurut penelitian kebanyakan ahli, hukuman mati tak punya efek jera yang signifikan. Ancaman hukuman mati tidak mengurangi kelakuan kriminal.
Ada beberapa pertimbangan tambahan. Di Indonesia ada orang yang baru dieksekusi puluhan tahun sesudah hukuman mati dijatuhkan, terutama beberapa orang yang dituduh "terlibat G30S/PKI". Eksekusi semacam itu kehilangan segala legitimasi. Di lain pihak Indonesia sudah cukup lama menahan diri dalam menjatuhkan hukuman mati. Hukuman mati sudah bukan hukuman rutin. Logika kenyataan positif itu adalah: akhiri hukuman mati sama sekali! Tuntutan agar kita mencoret hukuman mati dari hukum pidana kita bukan karena ikut-ikutan luar negeri, melainkan demi harga diri kita sebagai bangsa yang beradab.
0 komentar :
Posting Komentar