Pekan ini adalah pekan yang cukup berat buat saya, seorang blogger amatir yang sering menggali inspirasi dari kejadian yang sedang viral di media sosial. Di linimasa Facebook, setidaknya saya menjumpai tiga tema besar yang akan menjadi studi kasus kita kali ini, yakni kasus pernikahan Umi Pipik dengan vokalis sebuah band, kasus Jennifer Dunn yang dilabrak oleh Shafa Haris, dan kasus Rina Nose yang memutuskan untuk melepas jilbab.
Sebelum menuju topik yang akan kita bahas, secara umum saya memberi nilai E, jika perlu Z pada framing yang dibuat media untuk tiga kasus di atas. Umi Pipik dieksploitasi dengan membenturkan simbol-simbol hijrah dan keagamaannya, sedangkan keluarga Shafa Haris justru dieksploitasi kekayaan dan keglamorannya. Pemberitaan tidak memberikan kesadaran bahwa ada laki-laki dalam kasus ini, yang sesungguhnya justru memiliki tanggung jawab paling pelik.
Pola pemberitaan bias gender semacam itu melahirkan konstruksi sosial patriarkis, setelah terlebih dahulu melanggengkan persepsi bahwa laki-laki tidak pernah salah bahkan terkesan makin jantan ketika dapat menguasai semakin banyak perempuan. Lebih-lebih, sanksi sosial telah siap di depan mata untuk menyerang pihak perempuan saja: perempuan yang dicap merebut suami orang adalah perempuan genit; sebaliknya, perempuan yang ditinggalkan suaminya adalah perempuan yang tidak menarik alias tidak mampu menyenangkan suami.
Uniknya, dari hiruk pikuk keramaian selebriti itu, saya mendapat temuan bahwa perempuan adalah makhluk berisik di media sosial. Saya tidak tahu apakah ini hanya prasangka buruk pribadi. Namun, mari coba cek ulang alur produksi kegaduhan tiga kasus di atas. Sebagian besar perempuan menemukan berita di akun gosip di Instagram. Biasanya, mereka lalu melakukan dua aktivitas lanjutan. Pertama, memberikan komentar di bawah pemberitaan itu di Instagram. Kedua, men-screenshot lalu membagikannya ke grup Whatsapp komunitas terdekat, atau membagikan link di akunFacebook.
Di Instagram, saya menyaksikan ribuan perempuan bertengkar dan berdebat sengit. Perempuan memiliki energi untuk memberikan sikap persetujuan maupun ketidaksetujuan lewat kalimat-kalimat yang begitu panjang. Ketika pendapat mereka disanggah, mereka akan membalasnya dengan lebih serius lagi. Pokoknya, pendapat mereka teguh dan tak terkalahkan! Demikian pula yang terjadi di linimasa Facebook.
Energi besar kaum perempuan untuk berdebat di media sosial itu bisa dipetakan hampir pada semua perdebatan, mulai topik keluarga, kesehatan, pengasuhan anak, hingga agama. Apakah Anda merasakan hal serupa? Atau, mungkin akun-akun perempuan yang gaduh bersitegang di linimasaInstagram itu adalah Anda salah satunya?
Pada 2017, dua per tiga orang dewasa Amerika mendapat berita dari media sosial. Yang lumayan menarik, jumlahnya mencapai 55% untuk orang dewasa berusia lebih dari 50 tahun lebih, dan 78% untuk mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Masih menurut data PEW Research terbaru (Agustus 2017), pengguna Facebook, Snapchat, dan Instagram sebagian besar adalah perempuan dengan persentase masing-masing 62%, 62% dan 60%. Sedangkan, pengguna Youtube dan Twitter sebagian besar laki-laki dengan persentase masing-masing 55% dan 53%. Pengguna aktif usia muda 18-29 tahun mendominasi Snapchat, Instagram dan Youtube, sementara usia matang 30-49 tahun mendominasi Facebook dan Twitter.
Meskipun survei tersebut dilakukan untuk publik Amerika, saya akhirnya merasa mendapat sedikit pencerahan pada kegaduhan perempuan di media sosial. Fenomena publik Amerika itu barangkali tak beda jauh dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pertama, berdasar analisis pengguna, pengguna dua platform populer yang efektif untuk berdebat, yakni Facebook danInstagram lebih banyak perempuan dibanding laki-laki.
Pengguna Instagram aktif 45 juta orang. Tahun 2017, Instagram berada pada peringkat ketiga, sedikit di bawah peringkat Youtube dan Facebook untuk kategori pengguna aktif. Instagram salah satu media sosial yang memiliki ciri khas sebagai tempat berbagi foto dan video pendek. Seperti produk bisnis lain, hal yang membuat pengguna aktif Instagram meningkat secara signifikan dalam dua tahun ini adalah inovasi. Pengguna media sosial cenderung lekas bosan dan selalu mencari kebaruan. Oleh Instagram, hal ini dipenuhi.
Dalam laman Socialdaily, saya mencatat hanya dalam rentang September hingga November, terdapat banyak sekali kebaruan yang ditawarkan, misalnya sentuhan khas Facebook di Instagram yang memungkinkan orang bisa langsung saling berbalas komen, membalas DM Instagram dengan foto dan video, posting-an album Instagram mendukung format potret dan lanskap, fitur berbagi stories ke Facebook, Instagram Stories bisa dibagikan via direct message, video Instagram Live bisa dipoles efek-efek unik, fitur kendali komentar dan depresi, transaksi pembelian secara langsung di dalamplatform, medium polling lewat Instagram Stories, serta fitur siaran livebareng teman.
Indonesia merupakan pembuat konten Instagram Story terbanyak di dunia, dan menjadi komunitas Instagram terbesar di Asia Pasifik, serta salah satu pasar terbesar di dunia dari total 700 juta pengguna aktif setiap bulan.
Setelah dua analisis di atas, saya berhati-hati melempar pertanyaan yang berpotensi untuk menjadi seksis. Benarkah perempuan lebih cerewet daripada laki-laki? Jawabnya tentu saja belum tentu. Akan tetapi, mereka yang memiliki kelebihan waktu untuk menulis panjang lebar terhadap isu-isu yang sama sekali tidak berkaitan dengan kehidupan mereka, tentu saja adalah pihak yang memiliki kelebihan waktu.
Tetapi, sejarah mulut perempuan yang cerewet dan tangan laki-laki yang terampil tidak sederhana. Beauvoir dalam The Second Sex mengungkapkan bahwa ketidakadilan gender berawal dari persepsi masyarakat terhadap tubuh perempuan. Gambaran paling konkret adalah simbol organ seks masing-masing. Laki-laki memiliki phallus dan sperma, sedangkan perempuan adalah pemiliki rahim dan selaput dara.
Phallus dibicarakan sebagai simbol dominasi laki-laki sejak dulu. Di Italia, Paris, Mesir, Amerika hingga Indonesia simbol phallus diabadikan dalam berbagai obelisk. Di Indonesia, di Candi Cetho di Karanganyar misalnya, terdapat sebuah simbol lingga-yoni yang menyatakan phallus adalah simbol kehadiran, kekuasaan, sekaligus kepemilikan laki-laki. Laki-laki terbiasa beraktivitas di medan yang penuh marabahaya, sedangkan perempuan adalah simbol kerapuhan yang banyak disimpan di ruang-ruang domestik. Laki-laki menjadi terampil tangannya karena maskulinitas menuntut untuk melakukan usaha pemenuhan kebutuhan, sedangkan para perempuan rapuh barangkali jadi kesepian lalu banyak berbagi dengan curhat harian.
Ibu saya bercerita, sekarang sudah banyak teman sejawatnya yang berponsel canggih. Dua aplikasi yang paling sering dipakai oleh para ibu kekinian itu memang Facebook dan Instagram. Jadi, situasinya barangkali adalah, jika dulu ruang gosip ada bersama tukang sayur langganan atau kantin kantor saat makan siang, ruang itu kini berpindah kepada dua platform tersebut. Ya ampun, ternyata hanya soal relokasi, toh!
Ngomong-ngomong, sebetulnya isu myth of feminine Beauviour di atas sudah kuno. Hari ini perempuan sudah banyak berkiprah di ruang publik. Isu yang menyambut mereka hari ini adalah myth of beauty alias mitos kecantikan, kuasa tubuh perempuan di ruang-ruang iklan serta produk kecantikan yang menjadikan perempuan sasaran empuk pasar anti-gendut hingga anti-kulit kusam.
Pada hal-hal itulah seharusnya kita mesti bersatu padu untuk melawan, Ibuk-ibuk! Meladeni akun gosip dan framing berita bias gender sudah sangat melelahkan, dan akan lebih berat lagi perjuangan kita jika harus ditambahi dengan saling menjatuhkan antarsesama perempuan.
0 komentar :
Posting Komentar