Pada tanggal 9 mei 2012 pesawat Sukhoi Superjet SSJ 100 terbang perdana di Indonesia dalam rangka promosi jet baru buatan Rusia. Di dalam penerbangan tersebut ada sejumlah awak media dan juga tamu undangan yang ikut serta dalam rombongan. Namun naas nian nasib pesawat tersebut, akhirnya jatuh di daerah Gunung Salak. Namun beberapa hari sebelum penerbangan tersebut, para blogger di Indonesia sudah khawatir bahwa ada desas-desus tentang kemungkinan akan adanya sabotase dalam penerbangan tersebut. Saya sendiri sempat berbincang-bincang dengan beberapa kawan sesama blogger di Jogja, dalam obrolan tersebut saya sempat nyeletuk: "Bro, opo Amerika rela nek jet SSJ-100 Rusia payu nang Indonesia?". Dan salah satu dari mereka menjawab gini: "Aku sih yakin AS nggak bakal sudi nek Sukhoi Superjet 100 laku nang kene, mergo pasare Boeing bakalan kegerus". Dan kami pun sempat mikir (berspekulasi) kalo penerbangan perdana promo nanti gak bakalan lancar. Dan nyatanya kejadian juga kan hal yang kami khawatirkan, Sukhoi SSJ-100 jatuh di Gunung Salak.
Rombongan yang hendak ikut penerbangan perdana Sukhoi SSJ-100
Semua paham dan semua mengerti bahwa Sukhoi Superjet 100 bukan pesawat coba-coba, bukan pesawat buatan insinyur kemarin sore. Pilotnya pun penerbang terbaik di Rusia, cuaca juga tak terlalu buruk bagi burung besi ultra-modern itu. Lantas, apa yang menyebabkannya burung besi buatan Rusia itu hancur menjadi berkeping-keping di Gunung Salak? Mengapa pula tebing yang katanya tertabrak itu tidak menunjukkan bekas tabrakan? Mengapa hanya terlihat bekas tanah yang berguguran dan sedikit longsor ke bawah? Kenapa pula burung besi itu sampai berkeping-keping dan hanya menyisakan sekerat besi ekor bagian atas tanpa blackbox?
Media-media nasional hari ini, melaporkan adanya spekulasi berhembus seputar tragedi pesawat Sukhoi Superjet 100 ini. Berita online seperti Detiknews.com, Kamis/ 24/05/12 menurunkan berita berjudul cukup menghentak, “Rusia Selidiki Dugaan Sukhoi Disabotase AS!”. Menurut detik yang menuklil berita dari tabloid Komsomolskaya Pravda, salah satu harian yang paling banyak dibaca di Rusia seperti dilansir kantor berita AFP, Kamis (24/5/2012), intelijen Rusia berpikiran bahwa pesawat tersebut kemungkinan telah disabotase Amerika Serikat! Sebuah teori sabotase itu kini tengah diselidiki pihak intelijen Rusia, tandas detik. Dalam artikel bertajuk “Are the Americans implicated in the Superjet crash?”, media tersebut mengutip pejabat-pejabat Rusia yang tidak disebutkan namanya. Dikatakan pejabat-pejabat itu, rival-rival aviasi Rusia tertarik melihat kejatuhan pesawat komersial terbaru Rusia tersebut.
“Kami tahu mereka memiliki peralatan khusus yang dapat memotong komunikasi, mengganggu sinyal dari darat atau mengganggu parameter kapal,” kata seorang jenderal GRU tanpa mau disebutkan namanya kepada tabloid Komsomolskaya Pravda, Kamis, 24 Mei 2012.
Pejabat tersebut mencetuskan, badan intelijennya (GRU) “telah lama melacak kerja Angkatan Udara Amerika Serikat di bandara Jakarta”. “Kami tahu bahwa mereka (AS) memiliki teknologi khusus (yang kita juga punya) yang bisa mengganggu sinyal-sinyal dari darat atau menyebabkan pembacaan parameter rusak,” ujar pejabat tersebut.
“Mungkin inilah ‘permasalahan’ sebenarnya dalam kejadian ini,” cetus pejabat Rusia itu. Jika pernyataan ini benar maka seolah membenarkan laporan praktisi penerbangan Jeffrey Adrian yang mengatakan bahwa jalur penerbangan Indonesia adalah jalur neraka. Bahkan dengan kondisi demikian ini Indonesia tetap saja anteng dan tidak punya akses memeriksa mengapa wilayah udara yang seharusnya bersih yang menurut Jeffrey tidak saja pilot bisa ndangdutan atau nge-jazz bahkan suara phone sex pernah ia dengar ketika sedang mengemudikan pesawat.
“Bahkan, maaf, itu (Phone Sex) saya pernah dengar ketika di udara,” kata Jeffrey.
Kemudian terkait dengan human error karena kelengahan pilot, data-data menunjukkan bahwa Yablontsev bukan pilot kemarin sore. Lebih dari 14 ribu jam terbang di atas 221 jenis pesawat telah ia kantongi. United Aircraft Corporation menyebut lulusan sekolah tinggi pilot militer Rusia itu sebagai satu yang terbaik. Sejak Superjet dalam pengembangan hingga uji terbang pertama, Yablontsev selalu terlibat.
“Dia pilot yang selalu kasih perhatian besar kepada keamanan saat terbang,” kata Wakil Menteri Industri dan Perdagangan Rusia Yury Slyusar saat jumpa pers di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Terkait Parasut Jika bukan Yablontsev sang pesawat, lantas siapakah yang mengenakan parasut? Banyak yang berspekulasi. Pengamat intelijen , Prayitno Ramelan, punya pertanyaannya sendiri.
“Adakah di pesawat tersebut,” katanya di sebuah blog, “terdapat orang lain yang sudah mempersiapkan diri dengan parasut, yang mempunyai niat tidak baik? Adakah ini hijacking (pembajakan)?” Spekulasi ini bisa menarik gerbong spekulasi yang lain. Tak heran jika bantahan segera datang. Awalnya dari polisi, menyanggah ada parasut di antara barang milik korban. Lalu Tim Investigasi Rusia menegaskan tak ada awak kabin yang mengenakan parasut. Payung udara itu, kata mereka, hanya dipersiapkan untuk melindungi survival kit jika pesawat mendarat darurat.
“Parasut itu ada di dalam satu kotak kontainer yang merupakan kit kalau pesawat harus mendarat darurat,” kata anggota tim Rusia, Sergey Korostiev di Halim, Selasa beberapa pekan lalu. Tamu Tak Diundang? Tapi soal “jenazah berparasut” cuma satu dari sekian banyak pertanyaan soal tragedi nahas Rabu sore itu. Teka-teki berikut menyorot manifes penumpang yang berubah-ubah. Daftar yang beredar memuat 50 nama penumpang. Namun, belakangan jumlah itu diubah menjadi 48 dan terakhir 45 orang. Angka itu pun tak berasal dari manifes tapi buku tamu. Lalu, mana yang akurat? Konsultan perwakilan Sukhoi di Indonesia PT Trimarga Rekatama, Sunaryo, mengaku manifes asli ‘tak sengaja’ terbawa terbang bersama seorang staf Trimarga bernama Arif Wahyudi. “Seharusnya daftar manifes ditinggal,” katanya. Nah, daftar penumpang yang tak seratus persen akurat justru membuka spekulasi kemungkinan adanya “tamu tak diundang” di atas pesawat. Jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Wayne Madsen menyebut hal ini sebagai indikasi adanya sabotase. Madsen, yang bekas analis National Security Agency, itu mengutip kecurigaan sumbernya di Jakarta tentang sabotase industrial yang dilakukan untuk mencegah Rusia mengetam kue besar bisnis penerbangan yang selama ini ada di meja Boeing – raksasa penerbangan yang kerap mendapat bantuan pendanaan dari pemerintah Amerika Serikat.
Sukhoi Superjet 100 jatuh berkeping-keping di Gunung Salak
Komplit dan Serba Canggih Sukhoi Superjet 100 jelas bukan pesawat coba-coba. Pesawat ini secara penuh sudah dioperasikan Aeroflot Rusia dan Armavia Armenia. Sekitar 280 unit siap dipesan sejumlah negara. Kehandalan dan kelayakan terbang pesawat ini semestinya tak diragukan lagi. Superjet yang terbang perdana Mei 2008 telah meraih sejumlah sertifikat Uni Eropa. Superjet juga dilengkapi sistem keamanan penerbangan mutakhir. Ada MOCA (Minimum Obstacle Clearance Altitude) yang bisa memberitahu pilot tentang ketinggian minimum pesawat pada radius lokasi tertentu. Lalu TAWS (Tactical Airborne Warning System), sistem yang secara otomatis akan memberi peringatan dini jika ada rintangan menghadang di hadapan. Tak ketinggalan, GPW (Ground Proximately Warning System). Namun, kontroversi tetap muncul. Pemicunya adalah perangkat ELT (Emergency Locator Transmitter). ELT bertugas mengirim sinyal saat pesawat mengalami kecelakaan. Celakanya, ELT milik Sukhoi tak berfungsi, malah ada yang bilang sudah ketinggalan jaman. Akibatnya, Badan SAR Nasional pun harus ‘berdarah-darah’ melacak lokasi kecelakaan.
Bahkan spekulasi terakhir muncul, jika blackbox (kotak hitam) burung besi tersebut tidak ada (sampai sekarang belum ditemukan). Cuaca Buruk atau Kelalaian? Kontroversi berlanjut terkait cuaca. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengklaim awan pekat dan bersusun-susun Kumulonimbus menggulung wilayah seputaran Gunung Salak. Namun, itu dibantah Badan Metereologi Klimatologi, dan Geofisika. “Sesuai data pemantauan yang kami punya, kondisi cuaca baik-baik saja. Tak ada awan Kumulonimbus,” tegas Kepala Badan Sri Woro Buadiati Harijono. Faktor kesalahan manusia selain pilot ada pada pundak para pengatur lalu-lintas langit, di menara ATC (Air Traffic Controller). Namun, penjelasan Deputi Senior General Manager PT Angkasa Pura II Mulya Abdi malah menunjukkan baik ATC maupun pilot sama-sama tak berdosa. Permintaan Yablontsev untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki terjadi saat Superjet berada di area aman di atas langit Lapangan Udara Atang Sanjaya, Bogor. “Mau berapa kali pun dia (pilot) melakukan orbit (manuver), boleh-boleh saja di situ-situ terus,” kata Mulya. Lantas, mengapa Superjet yang berada pada 6.000 kaki tak lama kemudian mengarah ke Gunung Salak yang memiliki ketinggian 7.254 kaki.
“Saya tidak boleh mengeluarkan statement apa-apa soal itu. Itu sudah wilayahnya KNKT.” Pejabat KNKT sendiri bilang mereka paling tidak perlu waktu empat bulan untuk memerika Blackbox, Kotak Hitam, instrumen penerbangan yang menyimpan seluruh data SSJ100 di hari naas itu.
Nah, bagaimana publik mendapat jawaban yang tuntas dari tragedi ini sementara blackbox yang seharusnya ada di buntut burung besi itu ternyata tidak ada? Waktu kan berbicar. Namun yang pasti, angka-angka deal pembelian pesawat boeing (Informasi nilai pembelian pesawat Boeing oleh Lion sebesar Rp 19,5 triliun).
0 komentar :
Posting Komentar