Beberapa minggu terkakhir negara kita sempat heboh dengan nilai tukar rupiah yang terus-terusan anjlok, bahkan sempat menyentuh di angka Rp. 15.000 per dolar AS. Hal ini sudah berjalan sejak awal tahun 2018. Jika dihitung sejak awal tahun ini maka rupiah sudah terdepresiasi sekitar 10%. Wow, sebuah angka yang lumayan signifikan. Penyebabnya kalau kata menko perekonomian sih karena adanya kebijakan normalisasi dari The Fed yang menaikkan tingkat suku bunga secara agresif yang akhirnya mengakibatkan dolar AS "pulang kampung". Dan akibatnya likuiditas dolar di pasar Indonesia minim, sehingga inilah yang menjadi pemicu rupiah anjlok.
Tapi apakah hanya karena faktor eksternal saja yang menyebabkan rupiah rontok? Nyatanya tidak semua mata uang mengalami depresiasi yang besar seperti rupiah. Hanya beberapa mata uang saja yang nilai penurunannya sangat besar, diantaranya, mata uang Peso Argentina (-109%), Lira Turki (-77%), Rupee India (-26,8%), Rand Afrika Selatan (-12,6%) dan Real Brazil (-12,58%), sementara rupiah melemah 10%. Sekarang kita lihat negara tetangga, apakah mereka juga terimbas penguatan dolar. Peso Filipina (-7,11%), Dolar Singapura (3,2%), Ringgit Malaysia (2,45%), dan Baht Thailand (-0.95%). Ternyata negara tetangga kita di ASEAN hanya mengalami depresiasi nilai mata uang yang sedikit, tidak banyak.
Nah lo, ternyata di kawasan ASEAN rupiah yang paling payah. Jika pelemahan nilai tukar disebabkan oleh faktor eksternal (utamanya kenaikan tingkat suku bunga di AS), lalu mengapa negara ASEAN lainnya tidak mengalami pelemahan mata uang sebesar rupiah? Jawabannya karena ekspor mereka moncer, tidak seperti Indonesia yang loyo. Hal inilah sebenarnya yang menjadi sebab utama nilai rupiah anjlok, karena nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor sehingga neraca transaksi berjalan kita defisit. Dan benar saja ternyata CAD kita defisit 3% lebih. Jadi apakah pemerintah akan terus-terusan mengkambing-hitamkan faktor eksternal?
Sejak orde baru hingga rezim Jokowi saat ini, nilai tukar rupiah terus melemah, hanya di rezim Habibie saja yang bisa menguat. mengapa demikian? hanya Tuhan dan pak Habibie saja mungkin yang tahu jawabannya. Itulah mengapa saya sebut mata uang kita dengan istilah "Rupayah", bukan Rupiah.
Mengapa Neraca Traksaksi Berjalan (CAD) Kita Defisit
Menjawab hal ini saya bisa pastikan berdasar data yang saya dapat dari BPS ternyata biang keroknya adalah impor migas yang nilainya mengalami kenaikan signifikan. Jelas aja, soalnya harga BBM sudha mencapai 69 dolar per barel. Padahal 2 tahun yang lalu harga BBM masih di level 40-an dolar per barelnya. Kinerja ekspor non-migas Indonesia sebenarnya cukup bagus, dari tahu ke tahun terus mengalami peningkatan dan nilai perdagangan non-migas Indonesia sebenarnya masih surplus. Perdagangan migas-lah yang menyebabkan CAD kita defisit cukup banyak.
Upaya Pemerintah Menanggulangi Depresiasi Rupiah
Sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam dalam mengatasi anjolknya nilai tukar rupiah, pemerintah melalui Bank Indonesai telah mengeluarkan kebijakan guna mendorong penguatan rupiah seperti, menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 125 basis poin (hingga kini mencapai 5,5%), kebijakan kewajiban menggunakan bahan bakar B20 (oplos minyak bumi dan biofuel hingga 20%), dan beberapa kebijakan moneter.
Well, bola berada di tangan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Apakah pemerintah akan cekatan dalam merespon hal ini atau tidak. Harusnya Jokowi berani mencabut sedikit demi sedikit subsidi BBM dan listrik, walaupun tahun depan kita akan menghadapi Pilpres. Subsidi ini juga ditengarai memberatkan APBN Indonesia. Jika pemerintah tidak melakukan upaya yang tepat dalam kebijakan fiskal & moneter, maka bukan hal mustahil rupiah akan bernasib seperti Lira Turki.
0 komentar :
Posting Komentar