Sambil meradang kesakitan, Kim Jong Nam melaporkan kejadiannya kepada petugas, "Sakit sekali, sakit sekali. Saya disemprot cairan." Tapi apa daya, cairan yang disemprotkan pelaku bukan sembarang cairan. Itulah racun saraf VX. Tidak berbau juga tidak berwarna, tapi ukuran 10 mg saja sudah mematikan. Dalam dunia militer, racun VX termasuk senjata kimia. Sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB 687, racun ini termasuk pemusnah massal.
Kim Jong Nam klepek-klepek. Racun VX dosis tinggi spontan bekerja mematikan saraf dan organ vital tubuhnya. Dalam tempo 15 -- 20 menit, kakak tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un ini pun tewas! Pembunuhan terjadi saat Kim Jong Nam baru check in di bandar udara internasional Kuala Lumpur, pada Senin, 13 Februari 2017.
Aparat Malaysia kelihatan sigap bekerja, dua wanita ditangkap. Empat pelaku lain yang diduga agen-agen Korea Utara juga langsung dirilis foto berikut identitasnya. Uniknya, kedua wanita pelaku penyemprotan racun VX ke wajah Kim Jong Nam mengaku, mereka dibayar untuk melakukan hal konyol tersebut demi acara reality show televisi. Disebut-sebut, dinas rahasia Korea Utara menjadi otak pelaku pembunuhan Kim Jong Nam.
Beda lagi dengan pembunuhan Fadi al-Batsh. Pembunuhan memang bukan dilakukan di lapangan terbang, melainkan di jalanan. Pada Sabtu, 21 April 2018, selesai shalat Subuh berjamaah di masjid, ilmuwan Palestina yang sedang berjalan kaki pulang ke apartemennya diberondong tembakan minimal 14 peluru. Konon, pelakunya dua orang yang berpostur tegap, mengendarai sepeda motor dan mengenakan helm full face. Lokasi TKP tak jauh dari apartemen anggota Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah atau HAMAS ini tinggal.
Fadi memang sudah hampir 10 tahun menetap di Malaysia. Sejak April 2016, cendekiawan muda Palestina dari bertugas sebagai dosen senior di Universiti Kuala Lumpur untuk program studi Electrical and Electronics Manufacturing. Selanjutnya, cuma butuh 2x24 jam, Polisi Diraja Malaysia (PDRM) kemudian merilis sketsa dua wajah pelaku penembakan Fadi al-Batsh.
HAMAS dan sanak keluarga Fadi pun menuding agen-agen MOSSAD - Dinas Rahasia Israel - bertanggung jawab atas pembunuhan cendekiawan muda Palestina dari Jabalia, Teluk Gaza. MOSSAD juga punya "mesin pembunuh" yang bekerja di banyak negara. "Mesin pembunuh" para target dan merupakan musuh Israel ini bernama KIDON. Kidon bermakna bayonet. Tugas "divisi" ini memang melakukan pembunuhan dimana saja para target bernilai tinggi berada.
Flashback Operasi Asasinasi Intelijen di Negeri Jiran
Mundur ke tahun 2000. Nama Teuku Don Zulfahri juga pernah meramaikan berita pembunuhan di media massa Malaysia. Sekjen MP Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu tewas bersimbah darah lantaran ditembak dua orang tak dikenal dari jarak dekat. Ketika itu, 1 Juni jelang sore, Teuku Don Zulfahri sedang menikmati makan-minum bersama sejumlah kawannya di restoran yang beralamat di Jalan 6/6 Pandan Perdana Distrik Ampang pinggiran Kuala Lumpur.
Serangkaian peristiwa ini mencerminkan, betapa leluasa para pelaku menemukan dan menghabisi target sasarannya. Kejadiannya berulang, dan selalu di Kuala Lumpur - kota terbesar di Malaysia.
Mengapa kok bisa target-target pembunuhan begitu mudah dihabisi nyawanya di Malaysia? Apa negara tetangga kita ini emang enggakpunya dinas intelijen - yang elite - sampai 'kecolongan' kejadian pembunuhan transnasional berulang kayakgini? Jawabannya, mari kita longok situs Polis Diraja Malaysia (PDRM) atau Kepolisian Kerajaan Malaysia, yang ternyata markas besarnya justru ada di Bukit Aman, Kuala Lumpur. Diantara divisi yang bernaung ada yang namanya Pengawasan Khusus yang tak lain merupakan divisi intelijen. Tugasnya adalah mengumpulkan informasi rahasia untuk keamanan dan keselamatan negara.
Peran dinas intelijen ini mengumpulkan informasi rahasia tentang ancaman dari dalam dan luar negara, mengumpulkan informasi rahasia tentang aktivitas subversif dan sabotase oleh pemberontak atau kelompok yang dapat mengancam stabilitas negara. Dinas ini terbagi menjadi beberapa bagian, mulai dari Intelijen Teknis, Sosial, Luar Negara, Politik, Ekonomi, Keselamatan Dalam Negara, Pentadbiran, dan Urusetia. Divisi Pengawasan Khusus dikepalai oleh Komisaris Besar Polisi (CP).
Dengan adanya Divisi Pengawasan Khusus ini, malah menjadi pertanyaan, kenapa pembunuhan transnasional yang ibaratnya berlangsung di depan mata justru begitu mudah terjadi. Apa saja kerja para dinas intelijen ini sehingga tidak bisa mencium gelagat sebelumnya, bahwa bakal terjadi pembunuhan terhadap Kim Jong Nam dan Fadi al-Batsh?
Pembunuhan Kim Jong Nam di Bandara Malaysia
Hadapi Perang Intelijen dengan Kontra Intelijen
Sementara itu, Jerry Indrawan selaku Dosen Studi Strategis dan Studi Perdamaian di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengatakan, kasus-kasus pembunuhan transnasional yang terjadi di Malaysia pada akhirnya membuka kembali lingkup pertahanan negara-negara jiran. Khususnya, Malaysia dan Singapura.
"Terkait masalah pertahanan, Malaysia dan Singapura punya kedekatan dengan Israel. Mereka punya perjanjian kerjasama. Bahkan ditengarai ada beberapa pesawat tempur F-16 Fighting Falcon milik Israel yang ditempatkan di Singapura. Sementara Singapura dan Malaysia punya kedekatan terkait pertahanan. Hal ini karena pertahanan Singapura juga dibantu oleh Malaysia. Ini yang membuat mereka saling support," ujar Jerry kepada penulis dalam wawancara via telepon pada Rabu, 25 April 2018.
Yang menarik, Jerry justru menduga, bahwa aparat berwajib Malaysia sebenarnya tidak bisa berwajah lugu karena mereka sedikit banyak pasti sudah bisa mencium gelagat bahwa akan ada kasus-kasus pembunuhan transnasional. "Untuk kasus pembunuhan Fadi al-Batsh, saya pikir dinas rahasia Israel, MOSSAD "diberikan akses" untuk melakukannya, karena antara Malaysia dan Israel punya perjanjian pertahanan. Dari sisi ini, keamanan Malaysia justru baik karena mereka beraliansi dengan negara besar, yaitu Singapura dalam hal ini," prediksi pria kelahiran Jakarta, 26 Agustus 1984 ini.
Mengapa Malaysia bisa memainkan "peran" terhadap peristiwa-peristiwa tadi dengan sangat baik, Jerry mengira, karena politik dalam negerinya yang tertutup. Meskipun politik luar negerinya terbuka dan bahkan menjadi bahagian dari sebuah pakta pertahanan, dalam hal ini FPDA (Five Power Defense Arrangement). Kelima anggota FPDA adalah Malaysia, Singapura, Australia, Inggris dan Selandia Baru.
"Dari sisi politik luar negerinya, kita tidak bisa mem-fait accomplypolitik luar negeri sebuah negara. Karena bicara politik luar negeri itu adalah manifestasi atau pengejawantahan dari politik dalam negeri. Ketika politik dalam negeri Malaysia terbuka dan aktif terhadap aliansi maka produk politik luar negerinya juga sama. Pada saat Malaysia, misalnya memberikan kesempatan aliansi pertahanan dengan Israel, Amerika Serikat, maka itu merupakan bahagian dari politik dalam negerinya. Tidak bisa hal itu dilihat sebagai sesuatu yang salah. Artinya, kita juga tidak bisa melihat kejadian-kejadian pembunuhan tadi sebagai sebuah ancaman bagi Malaysia. Tetapi, ancamannya justru untuk secara regional, dalam hal ini ASEAN. Kondisi ini sebenarnya sudah lama, karena Malaysia dan Singapura ditengarai sebagai playstation dari "mereka-mereka yang punya uang". Misalnya, para koruptor dan pelarian politik biasa lari ke Malaysia dan Singapura. Banyak yang lari ke sana, karena sistem politik luar negerinya yang terbuka. Dan, untuk menutup-nutupinya, Malaysia misalnya, menjalankan politik dalam negeri yang tertutup," urainya.
Biasanya, lanjut Jerry, negara-negara yang politik dalam negerinya tertutup maka "terbuka" untuk hal-hal yang "tertutup". Ada penguasa yang mengendalikan di belakang layar. "Kim Jong Nam misalnya, kan enggak ada yang tahu bahwa dia akan pergi ke Malaysia dengan menggunakan nama samaran. Itu kalau misalnya, aparat berwajib Malaysia "tidak bermain", maka enggak akan mungkin ketahuan. Aparat Malaysia pasti tahu, bahwa ada upaya pembunuhan terhadap Kim Jong Nam dan Fadi al-Batsh. Wallahu'alam, malah mungkin diatur sedemikian rupa oleh aparat Malaysia supaya misalnya Kim Jong Nam datang ke Malaysia, dan dihabisi di Malaysia. Ini cuma analisis, karena peristiwanya secara enggak langsung adalah samar," tutur Dosen Hubungan Internasional di UTA '45 Jakarta, dan Ilmu Komunikasi di Universitas Bung Karno ini.
Secara citra, imbuhnya, kasus pembunuhan transnasional yang mengakibatkan Kim Jong Nam dan Fadi al-Baths tewas di Kuala Lumpur, dapat mencoreng nama Malaysia di dunia internasional. Bisa dimaklumi kalau kemudian memunculkan kecurigaan dunia internasional, ada apa sebenarnya yang terjadi dengan Malaysia.
"Kalau seminggu pasca kejadian pembunuhan Kim Jong Nam, para duta besar Malaysia ditarik dari Korea Utara, saya pikir hal ini cuma langkah pencitraan saja. Kebijakan penarikan dubes Malaysia dari Korea Utara ini 'kan ada pada level formal, sementara pembunuhan Kim Jong Nam justru berada di level informal atau level di belakang layar. Malah kalau Malaysia enggak menarik dubesnya dari Korea Utara, bisa jadi tambah muncul pertanyaan, kenapa enggak menarik dubesnya? Begitulah. Kalau saya bilang, ini politik konspiratif yang pada akhirnya membutuhkan a cover-up yakni dalam bentuk kebijakan penarikan dubes. Ini sekadar untuk menutup-nutupi bahwa seolah-olah Malaysia itu kecewa terhadap Korea Utara. Buktinya sekarang, Malaysia dan Korea Utara berbaik-baik lagi 'kan," urainya.
Menurut Jerry, kasus pembunuhan target man di negara lain, sebenarnya sudah dilakukan sejak peperangan tipe 3GW (generation warfare). Tetapi lebih masif lagi dilakukan dalam perang 5GW. Sederhananya, saya menyebut pola-pola demikian sebagai perang asimetris dengan segi ancaman berupa non-konvensional. Bukan konvensional. Karena kalau konvensional berarti ancaman militer. Ingat ya, secara umum ancaman itu tidak selalu melulu perang.
Dalam bukunya "Studi Strategis dan Keamanan" (Maret 2016), Jerry Indrawan mengartikan peperangan generasi ketiga (3GW) dengan menggunakan taktik manuver yang didukung mobilitas, bantuan tembakan massif dengan tahapan serangan yang tidak terlau jelas (non-linear), dan banyak mengandalkan keunggulan teknologi persenjataan, serta teknologi informatika.
Sedangkan peperangan 5GW, Jerry mengutip pernyataan Antoine Bousqet bahwa, periode peperangan ini bisa disebut sebagai perang cybernetic. Dalam perang ini diaplikasikan sistem sibernetika, yaitu sistem dengan memanfaatkan perangkat computer yang diintegrasikan dengan saluran komunikasi elektronika. Gabungan kedua komponen ini dimanfaatkan untuk mendukung sistem komando dan kendali pertempuran yang biasa disebut C2(Command and Control) kemudian berkembang menjadi C4I(Command, Control, Coordination, Communication, and Information).
"Untuk pembunuhan Kim Jong Nam dan Fadi al-Baths saya enggakyakin kalau yang melakukannya adalah termasuk tim khusus dari Malaysia sendiri. Saya enggak yakin sepenuhnya akan hal itu. Tetapi, kalau kejadian-kejadian pembunuhan ini dibiarkan atau sebenarnya diketahui oleh Malaysia, saya justru dominan untuk yakin. Tapi yang melakukan, karena ini saya anggap sebagai kerja intelijen, maka biasanya tidak menggunakan pola yang sama. Tiap kerja intelijen punya pola-pola yang berbeda. Untuk pembunuhan Kim Jong Nam itu misalnya, seolah-olah ada acara televisi reality show dan justru orang lain yang melakukannya. Sedangkan dalam kasus pembunuhan Fadi al-Baths justru dilakukan dengan cara penembakan langsung," katanya.
Jerry mengatakan, untuk melawan perang intelijen maka harus menerapkan kontra intelijen. "Upaya mengantisipasi kejadian pembunuhan transnasional seperti ini terjadi di Indonesia, maupun negara ASEAN lain di luar Malaysia, saya pikir agak sulit. Karena yang namanya operasi intelijen ya harus diantisipasi dengan operasi kontra intelijen. Ini terkait dengan ancaman konvensional (ancaman militer) dan non-konvensional (seperti ancaman ekonomi terhadap keamanan, kemiskinan; ancaman identitas sosial; ancaman lingkungan hidup; ancaman bencana alam; ancaman kesehatan; ancaman kriminalitas; dan, ancaman migrasi). Untuk mengantisipasinya ya kita harus memperkuat dinas intelijen yang dimiliki, apalagi peristiwa-peristiwa pembunuhan transnasional berarti juga mengancam keamanan nasional. Memang sudah ada UU No.17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, tapi itu sepertinya hanya mengatur soal lembaganya saja, belum mengatur tentang bagaimana caranya bekerja yang terkait dengan keamanan negara. Malaysiamisalnya, punya UU seperti yang dimaksud, yaitu The Internal Security Act 1960. Begitu juga dengan Amerika Serikat yang punya The National Security Act of 1947. Dengan UU tersebut, intelijen bisa masuk kemana-mana karena menganggap bahwa semua aspek dalam kehidupan manusia adalah ancaman bagi keamanan negara. Indonesia belum punya UU seperti ini, karena pasti akan dianggap melanggar HAM dan lainnya," urai Jerry yang menamatkan S1 Ilmu Politik di IISIP, Jakarta (2010), dan S2 Universitas Pertahanan Indonesia program studi Peace and Conflict Resolution (2013).
Saatnya, Tingkatkan Lagi Kerjasama Intelijen
Sementara itu, pengamat masalah intelijen Prayitno Ramelan dalam tulisannya berjudul "CIA dan DFAT Pernah Memperingatkan Ancaman Teror di Indonesia dan Malaysia, khususnya Abu Sayyaf" menulis, bahwa dalam kegiatan intelijen, jaringan atau 'indra' merupakan salah satu elemen strategis yang harus terkoordinasi hingga menghasilkan manfaat yang optimal, dimana pola-polanya harus juga teratur dan terstruktur. Untuk menjaga dan memberi rasa aman dan nyaman ke masyarakat, intelijen bahkan harus lebih pro-aktif. Ini berarti intelijen harus terus bergerak dalam Pulbaket (Pengumpulan Bahan Keterangan) dan kerjasama intelijen perlu dijaga dan diaktifkan agar intelijen bisa membuat perkiraan ancaman.
Dalam tulisan lain berjudul "Indonesia Harus Tegas Menghadapi Malaysia", Pray - sapaan akrabnya - mengingatkan bahwa, Malaysia merasa sebagai negara Islam yang kental, tetapi tetap saja masuk dalam persatuan Negara-Negara Persemakmuran Inggris (Commonwealth of Nations), bergabung pada 16 September 1963, Singapura (15 Oktober 1965). Kelompok ini adalah suatu persatuan yang secara sukarela melibatkan negara-negara berdaulat yang didirikan atau pernah dijajah oleh pihak Britania Raya (Inggris) dalam sebuah persatuan.
Karena itu, kata Pray, Malaysia masih dilindungi dalam Pakta Pertahanan FPDA. Apabila Malaysia dan Singapura diserang, maka Inggris, Australia dan Selandia Baru akan membela dengan kekuatan militer, itulah inti Pakta FPDA. Oleh karena itu tidak heran apabila Malaysia selalu tampil gagah berani menantang Indonesia pada kasus-kasus perbatasan dan kasus-kasus lainnya. Secara politis dan diplomatis dia akan didukung negara-negara persemakmuran lainnya.
Kiranya, menjadi pekerjaan rumah cukup berat bagi ASEAN untuk mengambil langkah bersama demi menghadapi peristiwa-peristiwa pembunuhan yang dirancang agen spionase global, dan teror transnasional. Karena, membiarkan Malaysia terus-menerus menjadi lokasi "nyaman" bagi pihak asing untuk menghabisi para lawan politik, lambat laun dampaknya pasti akan merembet ke kawasan, dalam hal ini ASEAN. Untuk itu, kerjasama intelijen tingkat regional perlu diperkuat kembali. Jangan sampai peristiwa-peristiwa serupa terjadi lagi. Kerjasama intelijen secara regional juga bisa menjadi bukti bahwa semangat kebersamaan ASEAN masih kental. Sekalipun Malaysia dan Singapura punya "induk" sendiri yaitu FPDA dalam hal pertahanan strategis negaranya.
Yakinlah, tidak ada kemenangan perang tanpa strategi. Dan, soliditas dalam kebersamaan itulah yang sudah pasti merupakan strategi terbaik demi meraih kemenangan perang. Itu juga kalau Malaysia dan Singapura mau. Kalau enggak mau, ya udah biarin aja mereka "nganu-nganu".
0 komentar :
Posting Komentar